Site icon WISMA BAHASA

Ada Apa Dengan Cinta (AADC)

Judul film AADC ini menandai kebangkitan kembali film Indonesia setelah sebelumnya mati suri. Film yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo pada 2002 ini banyak ditonton orang. Gairah perfilman seakan bangkit kembali. Dian Sastrowadoyo kemudian menjadi ikon kebangkitan film Indonesia, setelah membintangi film ini. Sebelumnya dia juga membintangi film Pasir Berbisik (2001).

Ketika membaca judul film AADC, terlintas dalam benak seakan-akan film itu berkisah tentang cinta kasih anak manusia. Apakah ada yang salah dengan cinta anak manusia? Meskipun film ini bercerita tentang hubungan cinta, khususnya tentang cinta anak SMA, saya keliru menafsirkan judul itu.

Cinta adalah nama tokoh utamanya (dibintangi oleh Dian Sastro) yang akhirnya dapat menggayutkan cintanya kepada Rangga (dibintangi oleh Nicholas Saputra), meski di akhir cerita, cinta mereka dipisahkan oleh jarak. Rangga akhirnya pindah ke New York, meninggalkan Cinta yang menyusulnya di Bandara Jakarta. Rangga tetap mencintai Cinta.

Cinta adalah nama seorang gadis. Dalam pengalaman saya, tidak banyak gadis Indonesia bernama Cinta. Selama ini kata “cinta” adalah sebuah adjektiva, bukan nomina, apalagi nama persona. Dalam bahasa Jawa, ada nama Sutrisno atau Trisnawati. Dalam bahasa Arab, banyak yang bernama Habibi atau Habibah, yang artinya memang sama dengan “cinta”.

Kini di sebuah stasiun TV Swasta ada acara yang berjudul “Cinta Juga Kuya”. Rupanya, kata pertama memang nama gadis berumur lima tahun yang pandai bermain sulap. Kata ketiga rupanya nama bapaknya, Uya Kuya, artis top Indonesia. Di Indonesia, nama perempuan dengan unsur kata “cinta” adalah fenomena post modern.

Di Wisma Bahasa ada sejumlah nama semacam itu. Ada anak yang bernama Bunga Padi, ada juga Relung Hati. Ada lagi anak artis terkenal: Anak Lelakiku Hoed. Nama semacam ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap tata nama yang memiliki semiosisnya tersendiri. Nama-nama semacam ini merupakan bentuk defamiliarisasi. Nama adalah sebuah identitas. Dari nama pula sebuah konstruksi sosial dibentuk. Aneh rasanya, jika Nurdin Mohammad Top seorang Kristen. Aneh pula jika ada orang Jawa bernama I Made Seriati. Apalagi Roswita Lumban Tobing mengaku orang Bali.

Suatu hari, mungkin akan terdengar sesesorang bertanya, “Nama Anda Siapa, bukan?” Anda jangan tertawa dulu. Itu bukan pertanyaan yang keliru, bukan pula salah struktur. Bisa jadi orang yang ditanya itu memang bernama “Jaka Siapa”.

Dalam opera Turandot (1926) karya Giacomo Puccini, Putri Cina yang kemudian harus balik menjawab teka-teki lelaki misterius yang telah berhasil menjawab teka-tekinya, menghadapi pertanyaan yang tidak terduga. Lelaki misterius itu menanyakan kepada sang putri, siapakah sesungguhnya nama dirinya? Pada akhir opera ini, sang Putri Cina kemudian mengadukan kepada sang raja, “Ayah, telah kutemukan namanya!” Dalam jeda beberapa saat, Putri Cina itu kemudian melanjutkan jawabannya, “Namanya adalah Cinta!”

NB: Isna (guru Wisma Bahasa) sekarang menyukai lagu-lagu Aura Kasih (bukan Aura Cinta lho).

Exit mobile version