Site icon WISMA BAHASA

Baju Koko

Ketika bulan Ramadhan (tahun ini jatuh pada bulan Agustus) banyak orang memakai baju koko. Baju koko dikenakan oleh laki-laki, biasanya ketika pergi ke masjid atau untuk acara keagamaan. Seringkali kata “koko” diplesetkan menjadi Koko, nama populer di Indonesia seperti Joko, Woko, ataupun Budi. Jadi, baju koko adalah baju yang dikenakan Mas Koko. Begitulah leluconnya.

Kata “koko” dalam konteks ini memang agak susah dilacak asal muasalnya. Bisa jadi memang awalnya dipakai oleh Mas Koko seperti yang dikisahkan di atas. Mungkin juga berasal dari baju yang dipakai oleh Mas-Mas keturunan Cina yang dipanggil dengan sebutkan Koh. Baju koko ditandai dengan bentuk kerah yang pendek dan tidak mempunyai lipatan kerah. Bentuk ini mirip dengan model baju-baju Cina.

Selain bentuknya yang tidak berkerah lipat, baju ini biasanya berwarna putih atau warno polos lainnya. Tidak ada gambar seperti baju batik. Kalau pun ada ornamen, hanyalah segaris motif sulaman yang tidak mencolok. Kebersihan atau kepolosan adalah warna dasar baju koko yang melambangkan semangat beribadah. Ciri lain baju koko adalah berlengan panjang. Di sisi kiri kanan pinggangnya terdapat belahan sepanjang 15 cm. Dengan demikian, baju koko dikenakan tanpa memasukkannya ke dalam celana atau ke dalam sarung. Mirip seperti baju batik laki-laki yang dikenakan tanpa memasukkannya ke dalam celana.

Baju koko biasa dipakai dengan sarung. Tapi jangan kaget, jika seseorang memadu-padankan dengan celana jeans. Asesoris lainnya yang sering mengiringi baju koko adalah kopiah, penutup kepala ala Melayu. Dulu biasanya berwarna hitam dan seperti kapal terbalik. Sekarang beraneka rupa bentuknya, tetapi yang sering tampil bareng dengan baju koko adalah kopiah bundar berwarna putih, kopiah yang sering dipakai Pak Haji.

Seperti umumnya baju, baju koko adalah sebuah model desain tata busana. Hanya sebatas itu. Akan tetapi, tampaknya kini baju itu bergerak menjadi sebuah simbol atau mungkin telah menjadi ikon bagi kaum muslimin Indonesia. Baju koko seperti yang disebut di depan biasa dikenakan ke masjid atau dalam rangka acara-acara keagamaan. Baju ini tidak hanya sekedar representamen (ikon) tetapi di dalamnya terkandung sebuah pemaknaan; sebuah ekspresi yang menampilkan suatu muatan makna, mungkin ideologis mungkin juga politis. Orang-orang berbaju koko adalah sekelompok orang yang mewakili kelompok Islam Indonesia yang tidak termasuk kaum santri, priyayi, ataupun abangan ala Clifford Gertz, juga bukan kelompok Muhammadiyah atau NU. Lelaki berbaju koko adalah kelompok muslim muda, intelektual, metropolis, dan tentu saja religius.

Ada sebuah institusi di Yogyakarta yang menyarankan para karyawannya untuk mengenakan baju koko pada hari Jumat, sebuah hari dalam satu minggu yang merepresenta¬si¬kan keislaman. Mereka menggeser ketentuan untuk mengenakan baju batik (kini telah menjadi simbol baju nasional) pada hari Rabu yang dulu dijadwalkan pada hari Jumat. Memang, baju adalah sebuah instrumen hegemonik. Lewat model baju, apakah batik, baju berdasi, baju olah raga, baju koko, hingga asesoris lainnya adalah sebuah sarana untuk menciptakan sebuah kepatuhan. Ada sebuah dampak besar ketika suatu saat orang-orang berbaju koko bersatu dan mungkin mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau partai.

Dulu pada tahun 1980-an ada anjuran yang menarik ketika perpolitikan di Indonesia dikuasai Golkar dan PPP (partai yang mewakili kelompok Islam). Anjuran yang entah berasal dari mana itu menyatakan, “Bersatulah kaum sarungan seluruh Indonesia!”. Kita ingat, kala itu sarung tidak hanya sekedar tata busana, tetapi telah berfungsi sebagai ikon keislaman. Tampaknya posisi seperti itu tampil pada baju koko dengan komposisi yang berbeda.

Baju koko jika dicermati ternyata memiliki sebuah sistem tersendiri, tidak jauh berbeda dengan baju koki, baju yang dikenakan para koki (tukang masak) yang dapat menghidangkan makanan yang rasanya maknyus itu.

Exit mobile version