Sebagai nama lengkap pun masih terhitung singkat: Sutomo. Lebih singkat lagi nama panggilannya: Tomo. Bila dirangkai dengan sebutan bung di depan nama panggilan itu, tampillah Bung Tomo, tokoh penting dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Bukan suatu kebetulan pula jika Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution menempatkan Sutomo sebagai satu-satunya pemuda pejuang yang namanya ditulis dengan sebutan bung meski banyak bung seperjuangan lainnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, arti kata bung sama dengan bang atau abang, yakni panggilan akrab kepada seorang laki-laki. Kata bung juga ditemukan di Tanah Melayu, khususnya di negeri Pahang, dengan arti yang sama (Kamus Dewan, 1989). Jika bang lebih merupakan sebutan kekerabatan terhadap kakak, atau sebutan umum untuk menuakan seseorang, bung justru berkesan menghapus jenjang itu. Dalam bung terkandung sikap egalitarian tanpa menanggalkan rasa hormat di antara penggunanya.
Dalam suasana perang, bung menemukan wataknya yang revolusioner sehingga digunakan sebagai sapaan kebanggaan di antara para pejuang. Tak mengherankan bila bung yang melekat pada nama para pejuang itu diingat pula sebagai sebutan bagi pahlawan, seperti terpantul dari sajak Chairil Anwar, Krawang-Bekasi. Petikan lariknya: Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ menjaga Bung Hatta/ menjaga Bung Sjahrir. Nama Bung Tomo tak disebut dalam sajak itu, tetapi jelas setidaknya ada empat bung yang dikenal luas dalam sejarah kita.
Bang tak apolitis sama sekali. Semasa menjabat gubernur DKI Jakarta pada 1970-an, Ali Sadikin berhasil menjadikan dirinya sebagai abang bagi penduduk Ibu Kota yang ia pimpin. Sebutan bang yang melekat padanya mampu menggugah imajinasi dan mewujudkan hubungan akrab antara pemimpin dan rakyat. Setelah itu bang seakan menjadi ”sebutan gubernuran” bagi kepala pemerintahan DKI selanjutnya. Entah mengapa, rasanya hanya Bang Ali yang paling tepat menyandangnya.
Kini sebutan bung jarang terdengar sebagai panggilan publik bagi pemimpin kita. Bung Tomo sendiri cukup menggunakan nama Tomo saja dalam kumpulan tulisannya. Hanya sesekali ia menyebut bung untuk dirinya ataupun ketika menulis surat kepada Bung Karno (Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat). Pada masa orde lalu, sebutan bung pernah dicobakenakan kepada beberapa menteri. Juga digunakan oleh sejumlah politisi masa kini untuk memberi kesan bernas dalam kiprah mereka. Karena suasana perjuangan yang berbeda dengan masa revolusi, bung kini terasa artifisial dan kurang menggigit.
Begitulah, bung menguap seperti asap. Mungkin karena revolusi telah selesai. Mungkin sebutan bung memprasyaratkan penyandangnya berbuat sesuatu tanpa pamrih, hal yang terasa langka pada masa sekarang. Mungkin hubungan antara pemimpin dan rakyat cenderung semakin berjarak sehingga tidak perlu sebutan aneh-aneh bagi seorang pemimpin. Cukup yang formal dan standar saja. Saatnya kini, di alam demokrasi, sembari mengenang perjuangan para pahlawan sejati, mari Bung, rebut kembali! (sumber: kompas Cetak)