Site icon WISMA BAHASA

Kita Berbeda Tapi Kita Dapat Menciptakan Keselarasan Di Wilayah ASEAN

Toleransi dan keselarasan.  Kedua kata ini paling memberikan dampak kepada saya selama kami tinggal di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.  Mengherankan, kata-kata ini saya dengar dari orang yang beragama berbeda.  Inihal pertama kali yang saya lihat pada orang-orang yang beragama sangat berbeda sabagai teman dekat.

Pada awalnya, presentasi tentang 3 pilar ASEAN merupakan topik yang saya siapkan, tetapi kalau saya  mempresentasikan hal ini, saya hanya akan membuat semacam tiruan yang selalu dibicarakan oleh tokoh-tokoh ASEAN.  Hal apa lagi yang bisa saya bicarakan selama 15 menit yang belum pernah dibicarakan oleh mereka.

Oleh karena itu, saya ingin membagi pandangan saya dari pengalaman saya di Yogya lewat Deplu dan Wisma Bahasa.

Pada minggu pertama, saya heran karena kelihatannya, guru-guru dan murid-murid, wanita dan laki-laki, orang muda dan orang yang lebih senior, orang-orang beragama berbeda, berkewarganegaraan berbeda, semuanya kelihatan seperti teman dekat betul-betul.

Mereka bahkan berbicara di dalam satu bahasa, apa pun cara mereka.  Beberapa waktu kemudian, saya mendengar ucapan-ucapan dalam bahasa Indonesia, “Apa kabar” (dengan aksen Amerika), dan ada “Apa kabal”, dan ada “Mat Itna bagut”, dan ada pula kata kesukaan kami pada kira-kira minggu keempat kami di Wisma Bahasa, “orang laki-laki yang paling pantat”.  Tetapi, meskipun ada banyak lafal yang salah, kami masih saling mengerti, tentu saja pelan-pelan.

Lalu, kami punya beberapa aktivitas tradisional.  Aktivitas pertama adalah tarian.  Wah!  Itu sangat menarik.  Mungkin, kalau kami sudah biasa mendengar hitungan, kami tidak akan memukul teman-teman kami tanpa sengaja.  Pada acara Malam Indonesia misalnya, saya harus berhenti sebelum wajah teman di sebelah saya menjadi biru.  Untung, ada “Sajojo”.  Ini lebih aman dan mudah.  Lagi pula, kami bisa menari dengan siapa pun.

Selanjutnya, ada kelas masakan tradisional.  Selain senang karena hal ini gratis, saya juga takut karena ada murid dan guru yang bertengkar.  Barangkali, murid tidak mengerti bahwa itu masakan tradisional Indonesia bukan masakan tradisional negara masing-masing.

Omong-omong, sesudahnya, kami masih makan bersama apa pun yang disajikan di meja.  Kata kelaparan, semacam humor, ini merupakan hal yang universal.

Humor, baik di dalam maupun di luar kelas, adalah cara yang paling bagus untuk belajar bahasa.  Di dalam kelas, ini membuat kami sangat kreatif.  Maksud saya, karena lewat pengalaman saya di Yogya, saya tidak hanya belajar bahasa dan budaya tetapi juga hal yang hanya bisa dipelajari diri sendiri dari mana-mana.

Di tingkat bawah, saya belajar tentang menghormati.  Ketika kami pergi ke Borobudur, Prambanan, Imogiri, dan desa, terus-terang, sebagai orang Katholik, saya hanya heran karena tempat-tempat ini megah, luar biasa, dan indah, dan saya lihat bagaimana orang Indonesia menghargai hal-hal ini.  Oleh karena itu, saya menghormati tempat-tempat ini apa pun yang di wakilinya.

Saya juga belajar tentang keterbukaan.  Di Sekolah Menengah Atas dan Universitas Gadjah Mada, saya senang melihat murid-murid diajari bagaimana berpikir secara global.  Mereka tinggal di Yogya tetapi ada juga banyak hal di luar yang masih penting.  Misalnya, murid-murid SMA didorong mewawancarai murid-murid dari kelas kelompok ASEAN.

Akhirnya, saya belajar tentang empati.  Saya pikir hal ini sangat penting tetapi sulit dipelajari.  Seperti saya bicarakan di atas tadi, saya heran sekali dengan Forum Persaudaraan Umat Beriman.  Saya tidak habis pikir bagaiman Partai Keadilan Sejahtera dan FPUB melakukan banyak hal meskipun mereka memiliki anggota-anggota yang beragama sangat berbeda.  Ketika saya berpikir tentang itu, saya sadar bahwa mereka berhasil karena selain menghormati dan keterbukaan, mereka punya empati.  Mereka memakai empati antara anggota-anggota dan juga untuk orang-orang yang perlu bantuan mereka.  Kalau seseorang merasakan apa yang orang lain rasakan, orang ini hanya akan memikirkan hal-hal yang bagus.

Di dalam tingkat yang lebih tinggi, memang, 3 hal tersebut lebih mudah di katakan daripada dilakukan.  Tetapi, di Filipina, tahun lalu, kantorku membuat program untuk diplomat-diplomat mid-career ASEAN.  Pelajarannya tentang negosiasi dan mediasi.  Selain pengetahuan tentang negosiasi dan mediasi, juga mencar cara-cara yang paling baik untuk memecahkan masalah-masalah antar negara-negara ASEAN merupakan hal-hal yang dipelajari oleh peserta-peserta.

Misalnya, kasus Sipadan-Ligitan dan perselisihan tentang berbatasan Teluk Tonkin antara China-Vietnam juga dibicarakan.  Kasus Sipadan-Ligitan yang ditetapkan oleh “International Court of Justice” dan kasus Teluk Tonkin ditetapkan lewat UNCLOS dipakai sebagai kasus-kasus yang sensitif tetapi dipecahkan secara damai.

Tambahan lagi, Diplomasi Track II dibicarakan.  Ini bukan pekerjaan diplomat-diplomat tetapi hal ini merupakan contoh yang baik untuk memperlihatkan bahwa ada akar-akar lain untuk kerja sama dengan damai.

Di dalam program ini, semua yang dilatihkan merupakan hal-hal yang lebih penting daripada siapa yang memenangkan kasus.  Sesudah itu, saya pikir bahwa seandainya semua tokoh ASEAN dan bahkan tokoh-tokoh dunia berpikir seperti ini, mungkin, masalah-masalah antara negara lebih sedikit.

Tetapi, selama program ini, tidak berarti bahwa tidak ada pertengkaran antara peserta-peserta.  Tentu saja, tanpa sengaja bahwa ada saat di mana peserta dari dua negara bertengkar.  Tetapi peserta lain menengahi.  Selang beberapa waktu, maksud saya dalam waktu singkat, mereka saling menyalami.  Mungkin, pada waktu itu, tidak ada empati tetapi ada keterbukaan dan rasa saling menghormati.

Apa artinya semua hal ini bagi kita?  Saya pikir bahwa meskipun ada banyak perbedaan antara kita dari budaya ke ekonomi, keamanan, perbedaan-perbedaan ini dan mungkin dengan sedikit humor, kita bisa menjadi lebih kreatif untuk mencari cara-cara yang bisa memecahkan masalah-masalah antara kita.

(Penulis: Joyce D. Camus – Diplomat Filipina – belajar di Wisma Bahasa th. 2005. Tulisan ini sudah pernah dipresentasikan di Wisma Bahasa pada tahun 2005, dalam rangka ujian akhir belajar bahaa Indonesia)

Exit mobile version