Site icon WISMA BAHASA

Masker

Pada 26 Oktober 2010 Merapi dinyatakan dalam status awas dan memuntahkan debu erupsinya. Juga awan panas yang menewaskan puluhan orang, termasuk Mbah Maridjan, sang juru kunci. Letusan Merapi bukanlah hal yang jarang kami alami. Gunung api ini sering meletus disertai awan panasnya.

Akan tetapi untuk tahun ini, letusan pada akhir Oktober hingga awal November merupakan letusan yang besar. Kami di Yogya merasakan dampak abu yang beterbangan memenuhi seluruh penjuru. Abu ini bahkan mencapai wilayah Jawa Barat.

Letusan terbesarnya terjadi pada Jumat pagi (4/11/2010). Jangkauan awan panasnya dapat mencapai wilayah 15 km dari puncak sehingga korban awan panasnya mencapai Kecamatan Cangkringan. Korbannya lebih banyak daripada letusan 26/10/2010. Abunya jauh lebih tebal daripada hari-hari sebelumnya ataupun sesudahnya. Hari itu puncak letusan Merapi periode kali ini.

Pagi itu sekolah-sekolah, universitas, dan institusi di Yogya libur. Juga di Wisma Bahasa, dilibur satu hari tetapi tidak wajib. Karyawan dan murid yang sudah di Wisma Bahasa diperbolehkan pulang tetapi kalau tetap di Wisma Bahasa dipersilakan. Karyawan dan murid dianjurkan memakai masker, Wisma Bahasa menyediakan masker.

Pekatnya debu Merapi membuat kaca-kaca dan body mobil dipenuhi tumpukan debu. Semua berwarna kelabu.Termasuk pohon-pohon, gedung-gedung, jalan-jalan, termasuk jaket-jaket yang dikenakan para pengendara sepeda motor. Di jalanan, tumpukan debu itu relatif tebal.

Tidak ada seorang pun yang kujumpai di sepanjang jalan pagi itu yang nekad berani tidak pakai masker. Semua pakai masker penutup mulut dan hidung, guna menyaring udara untuk bernapas. Selain dibagikan gratis oleh aparat, orang-orang dapat membelinya karena murah. Masker plus seringkali kacamata atau helm (selain topi) adalah piranti yang dikenakan semua orang.

Kami seringkali tidak mengenali lagi dengan orang-orang yang sudah kami kenal jika berpapasan di jalan. Penampilan kami jadi tertutup. Hal ini mengingatkan kami pada orang-orang yang memakai cadar, pakaian jilbab yang menutup wajah (termasuk mulut) sehingga praktis yang kelihatan hanya matanya.

Pemakaian masker didasarkan pada situasi bencana dan demi alasan kesehatan. Tidak ada seorang pun yang keberatan dengan penampilan kami yang pakai masker kala itu. Kami beraktivitas dengan penampilan nyaris tertutup semua. Tentu saja situasi dan latar belakang yang membuat kami harus memakai masker adalah sebuah keniscayaan yang diterima oleh semua elemen masyarakat di belahan dunia mana pun.

Lain halnya dengan pemakaian cadar. Di Eropa akhir-akhir ini banyak penolakan terhadap orang-orang yang berpakaian jilbab cadar karena latar belakang ideologi politis. Tampaknya, jika cadar itu diganti dengan masker demi alasan kesehatan seperti polusi udara kota yang kotor, alasan pelarangannya tidak bakal seheboh seperti itu. Sama-sama penutup wajah, masker, dan jilbab cadar mempunyai peran ideologis yang berbeda.

NB: Para selebriti lebih suka memakai topeng, atau make up tebal untuk menunjukkan jati dirinya di panggung. Orang-orang jenis kelamin ketiga malah ada yang menamakan dirinya sebagai kelompok orang-orang bergincu tebal. Semua penutup wajah. Kami teringat Kabuki.

Exit mobile version