Masyarakat yang terdiri atas sekumpulan orang sering disekat-sekat. Tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Orang-orang mempelajari masyarakat guna lebih memahaminya dengan baik ataupun seringkali dalam rangka kekuasaan. Misalnya agar dapat dibidik menjadi konstituennya dalam pemilihan wakil rakyat atau wali kota.
Karl Marx membedakan masyarakat menjadi kelas-kelas, seperti kapitalis—buruh, bourjuis—proletar, feodal—penggarap tanah, dan sebagainya. Orang-orang yang menguasai alat produksi/ekonomi berseberangan dengan orang-orang yang secara praktis dipekerjakan oleh para penguasa alat produksi tersebut.
Berbeda lagi dengan Clifford Geertz yang membedakan masyarakat Jawa menjadi: priyayi, santri, dan abangan. Sebuah pembagian masyarakat dalam bukunya yang terkenal The Religion of Java; sebuah pemilahan masyarakat yang bersumber dari kelas Eropa: feodal, kapitalis, dan buruh. Kata religion dalam buku Geertz seringkali mendapat reaksi, termasuk dari kalangan masyarakat Jawa sendiri.
Begitulah masyarakat disekat-sekat secara teoretis. Memang hanya secara teoretis karena bagaimana pun tidak mudah membuat generalisasi kategori apalagi dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Tapi, tahukah Anda bahwa masyarakat juga bisa dipilah-pilah berdasarkan pertanyaannya tentang makan?
Seseorang yang bertanya kepada istrinya dengan kalimat, “Mama, hari ini kita makan apa?” bisa dikategorikan berasal dari kelompok masyarakat miskin. Hari itu belum tentu mereka dapat makan. Mungkin makanannya sudah habis. Tidak ada lagi yang bisa dimakan. Mereka tergolong masyarakat miskin.
Berbeda dengan orang kaya. Kelompok ini ditandai dengan pertanyaan kepada istrinya dengan kalimat, “Mama, hari ini kita makan di mana?”
Mereka tidak lagi bicara tentang “apa” tetapi “di mana”. Mungkin mereka makan pagi di Yogyakarta, makan siang di Jakarta, dan makan malam di Singapura. Di restoran-restoran mewah yang terkenal. Mereka bisa menjangkaunya dengan kekayaan mereka.
Para guru dan staf di Wisma Bahasa juga sering bicara, “Kita makan siang di mana?” dan “Kita makan siang apa hari ini?”. Tetapi “apa” dan “di mana” tidak menunjukkan kaya atau miskin, tetapi untuk mencari suasana lain atau variasi menu lain. Maklum setiap hari sudah ada yang memasak untuk makan siang di Wisma Bahasa.
Yang terakhir kelompok orang berkuasa. Pertanyaan seorang lelaki berkuasa kepada istrinya bukan lagi “makan apa?” atau “makan di mana?” tetapi, “Mama, hari ini kita makan siapa?”. [nurhadi]