“Orang yang tinggal di sampah akan menjadi sampah”. Kata-kata ini ditulis oleh seseorang dari Australia di tembok disalah satu kampung di mana dia tinggal sekarang yaitu di Lombok, Indonesia. Begitu frustrasinya dia dengan kebiasaan para tetangga yang suka membuang sampah di mana-mana dan mengotori lingkungan dan pemandangan di pulau yang indah itu.
Banyak wisatawan asing yang mengunjungi Indonesia juga merasa kaget ketika mereka menyaksikan pembuangan sampah disamping jalan atau di sungai; sampah dipendam di bawah tanah atau dibakar. Bagi mereka, membuang sampah bukan di tempatnya sudah dianggap ‘dosa’.
Tetapi disini saya ingin melakukan sedikit introspeksi, saya ingin jujur tentang posisi orang asing terhadap lingkungan hidup kita semua, yaitu bumi ini. Dari pengalaman saya sebagai seorang Katolik ‘dosa’ biasanya diikuti rasa bersalah, perasaan yang sangat tidak enak. Seringkali saya melihat pihak yang bersalah ingin membagikan kesalahan mereka dengan pihak kedua, ketiga dan seterusnya. Begitu juga dengan ‘dosa’ besar terhadap ‘Ibu’ kita semua, yaitu bumi ini yang harus kita jaga.
Negara maju sudah mengambil manfaat yang luar biasa dari sumber daya alam untuk kemajuan dibidang industri dan teknologi. Dari tenaga batubara dijadikan sebagai revolusi industri yang sangat membangkitkan ekonomi di Inggris lebih dari satu abad yang lalu. Dari bensin untuk memenuhi kepentingan pribadi di Amerika Serikat untuk setiap mobil yang ada sebanyak 776 mobil per 1000 penduduk. Dari listrik untuk kebutuhan rumah tangga di Eropa untuk alat pemanas dan pendingin sepanjang tahun. Dari air disungai-sungai di Australia untuk pertanian dan peternakan yang besar. Manfaat yang telah diambil oleh negara-negara maju dari sumber daya alam tidak dapat dihitung. Justru penduduk yang berasal dari negara-negara beruntung ini munafik saat mereka mengkritik warga Indonesia yang belum diberi tempat khusus untuk pembuangan sampah oleh aparat pemerintahan. Wisatawan asing ini ingin menjauhkan diri dari rasa bersalah yang mendera.
Membuat orang merasa bersalah karena ‘dosa’ atas perbuatannya terhadap lingkungan hidup adalah cara kurang efektif untuk membuat masyarakat mengubah perilakunya dan kebiasaannya setiap hari. Sebagai pengunjung di negara ini, sebaiknya kita juga memberi dukungan kepada masyarakat Indonesia untuk melaksanaan perubahan yang diinginkan.
Masalah pembuangan sampah ini kelihatan tidak menghormati lingkungan hidup. Tetapi kebiasaan ini sudah ada sejak dari dahulu. Bayangkan satu generasi yang lalu, sachet sampo Pantiene, snack Beng-beng, Frestea dalam kemasan karton, Aqua botol pun belum tersedia di setiap pojok warung. Semua produk ini memang awet dan praktis. Soalnya bungkus plastiknya tidak bisa membusuk dan menjadi tanah secepat bahan alami, plastik membutuhkan waktu ribuan tahun untuk kembali ke tanah. Tetapi untuk melindungi lingkungan hidup kita, semua solusi tidak berasal dari negara maju. Saya sudah mendapatkan banyak inspirasi alternatif dari Indonesia.
Di pasar tradisional kita masih bisa menemukan solusi tradisional untuk mengatasi masalah sampah. Makanan kecil sering dibungkus dalam daun pisang dan diikat tali atau dikancing dengan ditusuk dari bambu. Kalau sampah dari bahan alami ini dibuang, tidak akan menimbulkan masalah karena akan cepat terurai oleh tanah. Maka kita bisa melihat bahwa pembuangan sampah di Indonesia bukan merupakan sebuah kejahatan masyarakat tetapi satu kebiasaan yang dibawa masyarakat dari masa yang lebih sederhana. Pemulung adalah sebuah profesi yang sering diejek di Indonesia. Karena profesi tersebut dianggap rendah. Tetapi justru pemulung membuat kita lebih sadar bahwa sampah sesungguhnya berharga dan bisa ditukar dengan uang. Ada beberapa orang kreatif yang memanfaatkan sampah untuk dibuat kerajinan dan dijual. Saya juga melihat kreatifitas di home industry yang bisa memanfaatkan kembali kaleng biskuit yang sudah tidak digunakan untuk dijadikan sekop dan dijual kepada ibu rumah tangga.
Kadang-kadang kreatifitas tersebut muncul dalam bentuk perayaan atau upacara untuk hubungan antara masyarakat setempat dengan lingkungan alam. Misalnya di Salatiga ada festival ‘Mata Air’ untuk merayakan lingkungan alam melalui musik, seni dari sampah dan workshop kreatif. Saya pernah menonton film dokumenter dari Solo tentang pemilik sapi yang menernak hewannya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ini adalah satu cara yang sangat unik untuk memanfaatkan sampah. Di Jawa juga ada tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi namanya ruwatan, merti desa, bersih desa dimana orang sedesa menbersihkan lingkungan hidup bersama. Saya ingin tahu apakah ‘Clean Up Australia Day’, di mana warga Australia membersihkan lingkungan sekitar rumah tangga mereka, terinspirasi dari tetangga kami di Indonesia?
Ada satu peribahasa yang populer dalam bahasa Inggris ‘kebersihan adalah kesucian’ yang mungkin mempengaruhi persepsi orang Australia yang tinggal di Lombok tersebut di atas. Tetapi saya menerima pelajaran tambahan di Indonesia di antaranya; bahan sampah anda berpengaruh terhadap bumi, sampah pun bernilai, jangan membatasi kreativitas anda untuk pemakaian sampah. Pada dasarnya, menjauhkan diri kita sendiri dari sampah dan sekaligus dari merasa bersalah tidak cukup untuk menyelamatkan lingkungan hidup di negara manapun. Dan solusi dapat ditemukan baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia, jika kita memang ingin mengatasi masalah sampah yang semakin mengotori bumi kita di masa mendatang. (Katie Coughlan, asal Australia)