Dalam bahasa Indonesia, penulisan yang benar yang mana: apotek atau apotik, kantong atau kantung, kokoh atau kukuh, praktek atau praktik, telor atau telur? Jawabannya: pakai semaumu. Toh artinya tak ada beda antara apotek dan apotik, juga telor dan telur. Pedagang di pasar akan menimbang benda yang sama, tak peduli apakah pembeli menyebut telor bebek atau telur bebek.
Dalam bahasa-bahasa berfleksi dikenal gejala bahasa ablaut. Gejala bahasa ini tak lain tak bukan adalah perubahan vokal pada suatu kata menandai pelbagai fungsi gramatikal untuk mengungkapkan perubahan aspek, jumlah, waktu, dan sebagainya.
Pada bahasa Inggris kita kenal drink, drank, dan drunk. Kata itu menggambarkan tindakan yang sama, minum, dengan waktu sebagai pembeda. Pada bahasa Italia tersua bambino dan bambini yang sama-sama berarti anak-anak (lelaki) dengan jumlah sebagai pembeda.
Adakah ablaut pada bahasa Indonesia? Para penulis buku tata bahasa kita menyerap gejala bahasa ini ke dalam bahasa Indonesia untuk menjelaskan perubahan vokal pada suatu kata tanpa berakibat pada perubahan makna. Contohnya di paragraf pembuka tadi, e dan i dalam apotek dan apotik bukanlah fonem sebab keduanya merupakan unit bunyi yang dalam konteks kata itu tidak membedakan arti. Demikian pula o dan u dalam kokoh dan kukuh. Bedakan dengan a dan i dalam lantang dan lintang, demikian pula e dan u pada pare dan paru, misalnya, masing-masing merupakan fonem sebab keduanya menciptakan makna yang berlainan.
Sayangnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa tidak mengakomodasi keekayaan perangkat linguistik yang diwakili gejala bahasa ablaut ini. Kamus ini menetapkan salah satu saja yang baku: apotek, kukuh, praktik, dan telur. Padahal, bahasa Indonesia akan lebih hidup dengan mengizinkan keduanya setara untuk kegiatan kreatif dalam mengekspresikan perasaan. Misalnya, untuk menciptakan irama atau efek bunyi dalam suatu ungkapan, kalimat, paragraf, maupun wacana.
Apotek dan praktik ditetapkan sebagai bentuk baku oleh Pusat Bahasa karena alasan paradigma. Penulisan apotik tidak benar demi apoteker. Demikian pula praktek harus tersingkir demi deretan paradigmatik: praktik-praktikan-praktikum.
Maka, kalau ada ”praktek dokter di samping apotik”, menurut Pusat Bahasa, ungkapan itu harus menjadi ”praktik dokter di samping apotek” meski dokter yang bersangkutan menggunakan praktek di papan nama mereka dan di sebelahnya beroperasi ”Apotik X”.
Sementara Pusat Bahasa mengecam ungkapan ”praktek dokter di samping apotik”, ada juga yang mempertanyakan: apakah menyalahi undang-undang bila ada dokter yang membuka praktik di samping sebuah apotek? (sumber: kompas cetak)
pemikiran sy lebih terbuka melalui tulisan ini. thanks…:)